Artikel Terbaru

Tuesday, May 3, 2016

PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI PRIORITAS PENDIDIKAN DI SEKOLAH

Tidak dapat disangkal bahwa,, sekolah memiliki pengaruh dan dampak terhadap karakter siswa, baik di sengaja maupun tidak. Kenyataan ini menjadi entry point untuk menyatakan bahwa sekolah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pendidikan moral dan pembentukan karakter. Selanjutnya para pakar pendidikan terutama pendidikan nilai, moral atau karakter, melihat itu bukan sekedar tugas dan tanggung jawab tetapi juga merupakan suatu usaha yang menjadi prioritas.
Menurut Sudarminta (2009) merumuskan pentingnya pendidikan moral di sekolah:
  1. Bagi sekolah dasar dan menengah, sekolah adalah tempat dalam proses pembiasaan diri, mengenal dan mematuhi aturan bersama dan proses pembentukan identitas diri.
  2. Sekolah adalah tempat sosialisasi ke dua setelah keluarga. Di tempat ini para siswa di rangsang pertumbuhan moralnya karena berhadapan dengan cara bernalar dan bertindak moral yang mungkin berbeda dengan apa yang selama ini dipelajarai dari keluarga.
  3. Pendidikan di sekolah merupakan proses pembudayaan seharusnya memuat pendidikan moral.
Menurut oleh Robert W. Howard. Tujuan pendidikan tidak pernah berakhir, namun upaya mempersiapkan generasi baru dari warga negara merupakan suatu tujuan yang telah di sepakati. Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilain di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan di kuasai serta diralisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahnnya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tingkatan nyata dalam kehidupan sehari-hari. 

Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga maupun keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu, perli menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.

Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaknya kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah,mawaddah, dan warrahmah). 

Menurut Qurais Shihab (1996), situasi masyarakat dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.


Apabila kita cermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar Dewantara misalnya, mengajarkan praktek pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan "tuntutan" bukan "tontonan". Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan "among" yang lebih menyentuh langsung pada tataran etik, prilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha "mengadaptasi" pendidikan modern barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penembahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun mengapa dunia pendidikan kita yang masih berkutat dengan problem intenalnya, sepeti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah, prilaku pendidiknya dan lain sebagainya.

Sperti karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berprilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, local wisdom yang kaya dengan pluralitas, toleransi dan gotong royong, telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling mengalahkan. Apakah pendidikan telah kehilangan sebagian fungsi utamanya? Berkaca pada kondisi ini, sudah sepantasnya jika kita bertanya secara kritis, inikah hasil dari proses pendidikan yang seharusnya menjadi alat tansformasi nilai-nilai luhur peradaban? Jangan-jangan pendidikan telah teredusir menjadi alat yang secara mekanik hanya menciptakan anak didik yang pintar menguasai bahan ajar untuk sekedar lulus ujian nasional. Kalau begitu, pendidikan sedang memperlihatkan sedang memperlihatkan sisi gelapnya.


Karakter bangsa adalah modal dasar membangun peradaban tingkat tinggi, masyarakat yang memiliki sifat jujur, peradaban tingkat tinggi, masyarakat yang memiliki sifat jujur, mandiri, bekerja sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos kerja tinggi akan menghasilakn sistem kehidupan sosial yang teratur dan baik. Ketidakteraturan sosial menghasilkan berbagai bentuk tindak kriminal, kekerasn, terorisme dan lain-lain.

Oleh karena itu, pendidikan harus terus didorong untuk mengembangkan karakter bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat sehingga pada gilirannya bangsa Indonesia akan membangun peradaban yang lebih maju dan modern. Menurut M Dawan Raharjo, peradaban modern dibnagun dalam empat pilar utama, yakni induk budaya (mother culture) agama yang kuat, sistem pendidikan yang maju, sistem ekonomi yang berkeadilan serta majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang harmonis. Sebernya keempat pilar tersebut sudah dimiliki Indonesia, tinggal bagaimana keempat hal tersebut berjalan secara fungsional melalui pendidkan.

No comments:

Post a Comment