Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional.
Pada kenyataannya, pendidikan jasmani adalah suatu bidang kajian yang sungguh luas. Titik perhatiannya adalah peningkatan gerak manusia. Lebih khusus lagi, penjas berkaitan dengan hubungan antara gerak manusia dan wilayah pendidikan lannya: hubungan dari perkembangan tubuh-fisik dengan pikiran dan jiwanya.
Definisi, pendidikan jasmani diartikan dengan berbagai ungkapan dan kalimat. Namun esensinya sama, yang jika disimpulkan bermakna jelas, bahwa pendidikan jasmani memanfaatkan alat fisik untuk mengembangkan keutuhan manusia. Dalam kaitan ini diartikan bahwa melalui fisik, aspek mental dan emosional pun turut terkembangkan, bahkan dengan penekanan yang cukup dalam.
Pendidikan jasmani ini karenanya harus menyebabkan perbaikan dalam “pikiran dan tubuh” yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan harian seseorang. Pendekatan hlistik tubuh-jiwa ini termasuk pula penekanan pada ketiga doamin kependidikan: psikomotor, kognitif, dan afektif.
Menurut Robert Gensemer, penjas diistilahkan sebagai proses menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa”. Artinya, dalam tubuh yang baik diharapkan pula terdapat jiwa yang sehat, sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: Men sana in corporesano
Kesatuan Jiwa dan Raga
Salah satu pertanyaan sulit di sepanjang jaman adalah pemisahan antara jiwa dan raga atau tubuh. Kepercayaan umum menyatakan bahwa jiwa dan raga terpisah, dengan penekanan berlebihan pada satu sisi tertentu, disebut dualisme, yang mengarah pada penghormatan lebih pada jiwa, dan menempatkan kegiatan fisik secara lebih inferior.
Kita bisa melacak pandangan ini dari pandangan Athena Kuno, dengan konsepnya “jiwa yang baik di dalam raga yang baik”. Moto tersebut sering dipertimbangkan sebagai pernyataan ideal dari tujuan pendidikan jasmani tradisional: aktivitas fisik mengembangkan seluruh aspek dari tubuh: yaitu jiwa, tubuh, dan spirit.
Tepatlah ungkapan Zeigler bahwa fokus dari bidang pendidikan jasmani adalah aktivitas fisik yang mengembangkan, bukan semata-mata aktivitas fisik itu sendiri. Selalu terdapat tujuan pengembangan manusia dalam program pendidikan jasmani.
Dalam konsep dan kepercayaan terhadap pandangan dualisme di atas masih kuat berlaku. Bahkan termasuk juga pada sebagian besar guru penjas sendiri, barangkali pandangan demikian masih kuat mengakar, entah akibat dari kurangnya pemahaman terhadap falsafah penjas sendiri, maupun karena kuatnya kepercayaan itu.
Yang pasti, masih banyak guru penjas yang sangat jauh dari menyadari peranan dan fungsi pendidikan jasmani di sekolah-sekolah, sehingga proses pembelajaran penjas di sekolahnya masih lebih banyak ditekankan pada program yang berat sebelah pada aspek fisik semata-mata.
Nilai-nilai yang dikandung penjas untuk mengembangkan manusia utuh menyeluruh, sungguh masih jauh dari kesadaran dan pengakuan masyarakat kita. Ini bersumber dan disebabkan oleh kenyataan pelaksanaan praktik penjas di lapangan.
Teramat banyak kasus atau contoh di mana orang menolak manfaat atau nilai positif dari penjas dengan menunjuk pada kurang bernilai dan tidak seimbangnya program pendidikan jasmani di lapangan seperti yang dapat mereka lihat. Perbedaan atau kesenjangan antara apa yang kita percayai dan apa yang kita praktikan (gap antara teori dan praktek) adalah sebuah duri dalam bidang pendidikan jasamani kita.
Hubungan Penjas dengan Bermain dan Olahraga
Dalam memahami arti pendidikan jasmani, kita harus juga mempertimbangkan hubungan antar bermain (play) dan olahraga (sport), sebagai istilah yang lebih dahulu populer dan sering digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari. Pemahaman tersebut akan membantu para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani secara lebih konseptual.
Bermain pada intinya adalah aktivitas yang digunakan sebagi hiburan. Kita mengartikan bermaian sebagai hiburan yang bersifat fisikal yang tidak kompetitif, meskipun bermain tidak harus selalu bersifat fisik. Bermain bukanlah berati olahraga dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari bermain dapat ditentukan di dalam keduanya.
Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif. Beberapa ahli memandang abhwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang terorganisir, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi, pengujian yang lebih cermat menunjukan vahwa secara tradisonal, olahraga melibatkan aktivitas kompetitif.
Bermain, olahraga dan pendidikan jasmani melibatkan bentuk-bentuk gerakan, dan ketiganya dapat melumat secara pas dalam konteks pendidikan jika digunakan untuk tujuan-tujuan kependidikan. Bermain dapat membuat rileks dan menghibur tanpa adanya tujuan pendidikan, seperti juga olahraga tetap eksis tanpa ada tujuan kependidikan.
Olahraga dan bermain dapat eksis meskipun secara murni untuk kepentingan kesenangan, untuk kepentingan pendidikan, atau untuk kombinasi keduanya. Kesenangan dan pendidikan tidak harus dipisahkan secara ekslusif, keduanya dapat dan harus beriringan bersama.
Lalu bagaimana dengan rekreasi dan dansa
Para ahli memandang bahwa rekreasi adalah aktivitas untuk mengisi waktu senggang. Akan tetapi, rekreasi dapat pula memenuhi salah satu definisi “penggunaan berharga dari waktu luang”.
Dengan demikian, penekanan dari rekreasi adalah dalam nuansa “menciptakan kembali” (re-creation) orang tersebut, upaya revitalisasi tubuh dan jiwa yang terwujud karena ‘menjauh’ dari aktivitas rutin dan kondisi yang menekan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan dansa adalah aktivitas gerak ritmis yang biasanya dilakukan denagn iringan musik, kadang dipandang sebagai sebuah akat ungkap atau ekspresi dari suatu lingkup budaya tertentu, yang pada perkembangannya digunakan untuk hiburan dan memperoleh kesenangan.
No comments:
Post a Comment